Whatsapp

Ada yang ditanyakan?
Klik untuk chat dengan customer support kami

Admin PusakaKeris.com
● online
Admin PusakaKeris.com
● online
Halo, perkenalkan saya Admin PusakaKeris.com
baru saja
Ada yang bisa saya bantu?
baru saja
Kontak Kami
Member Area
Rp
Keranjang Belanja

Oops, keranjang belanja Anda kosong!

Buka jam 08.00 s/d jam 23.00
Beranda » Dhapur Bethok Gumbeng » Keris Jenggala TUS Gumbeng Pamor Raja Kamkam Wos Wutah Asihan
click image to preview activate zoom

Keris Jenggala TUS Gumbeng Pamor Raja Kamkam Wos Wutah Asihan

Rp 35.000.000
KodeMK
Stok Habis
Kategori Dhapur Bethok Gumbeng, Katalog Produk, Keris, Keris Kuno, Keris Lurus, Pamor Asihan, Pamor Beras Wutah, Pamor Raja Kamkam, Tangguh Jenggala, TOSAN AJI 2
Jenis : Keris Lurus
Dhapur Gumbeng
Pamor Wos Wutah Asihan + Raja Kamkam
Tangguh Jenggala
Abad / Tahun : XI
Warangka : Gayaman
Bahan Warangka : Kayu timoho
Pendok : Bunton bahan perak
Mendak : Kendit bahan kuningan
Panjang Bilah :
Tentukan pilihan yang tersedia!
OUT OF STOCK
Maaf, produk ini tidak tersedia.
Bagikan ke

Keris Jenggala TUS Gumbeng Pamor Raja Kamkam Wos Wutah Asihan

Keris Jenggala TUS Gumbeng Pamor Raja Kamkam Kuno

Keris Jenggala TUS Gumbeng Pamor Raja Kamkam Kuno adalah salah satu koleksi masterpiece kami yang secara keseluruhan memiliki nilai yang cukup tinggi. Tidak hanya itu, keris ini adalah salah satu keris dengan dhapur, pamor dan tangguh yang sangat langka. Keris dengan ricikan seperti pada gambar merupakan keris dengan sebutan dhapur Gumbeng. Lalu pamornya memang terlihat hanya Wos Wutah, namun jika diamati lebih detail keris ini memiliki pamor Asihan yang merupakan pamor langka. Tidak hanya itu, keris ini juga terdapat pamor Raja Kamkam yang sangat langka pada bagian gonjo. Lalu untuk tangguhnya tidak kalah langka, dari model pasikutan bilahnya mulai dari condong leleh, model rancang bangun, material bilah hingga garap tempanya keris ini diperkirakan tangguh dari era Jenggala.

Tangguh Jenggala

Tangguh Jenggala termasuk dalam kategori tangguh Madya Kuno, Penggiat keris juga menyebutnya sebagai tangguh Kuno Pertengahan. Tangguh ini memiliki periode antara tahun 1126 M–1250 M. Kerajaan yang masih dalam periode ini adalah Jenggala, Singosari, Pajajaran dan Cirebon.

Kerajaan Janggala atau Jenggala (Jawa: ꦏꦼꦫꦗꦄꦤ꧀ꦗꦁꦒꦭ) adalah sebuah kerajaan Hindu-Buddha yang terdapat di Jawa Timur, Indonesia, antara tahun 1042 dan berakhir disekitar tahun 1135-an. Wilayah Jenggala membentang dari Mojokerto hingga Banyuwangi, yang saat ini menjadi pusat wilayah kebudayaan wetanan. Janggala Merupakan salah satu kerajaan hasil pembelahan yang juga didirikan oleh Airlangga. Kerajaan ini dipimpin oleh wangsa Isyana. Lokasi pusat kerajaan diperkirakan sekarang berada di wilayah Porong, Sidoarjo.

Nama Janggala diperkirakan berasal kata “Hujung Galuh”, atau disebut “Jung-ya-lu” berdasarkan catatan China. Pada masa Kerajaan Medang, dan Kahuripan, Hujung Galuh dikenal sebagai pelabuhan, kemungkinan terletak di daerah Canggu, Jetis, Mojokerto. Sumber otentik yang dapat dipakai sebagai dasar acuan. Yakni Prasasti Kamalagyan. Prasasti Kamalagyan adalah sebuah prasasti yang dibuat Airlangga pada tahun 959 Saka atau 1037 M.

Dengan berjalannya waktu, hingga Raja Airlangga membagi dua kerajaannya, daerah Hujung Galuh yang terletak di daerah aliran Sungai Brantas meluas, mencakup wilayah Mojokerto, Sidoarjo, Surabaya hingga Pasuruan, hingga bagian timur kerajaan Kahuripan disebut “Jenggala”, dengan menjadikan Kali Mas dan Kali Porong sebagai pintu gerbang Kerajaan pada saat itu.

Pada masa kerajaan Kadiri, Singhasari dan Majapahit, daerah kali porong, Sidoarjo, kembali disebut Kahuripan dan pelabuhan yang berada di Kali Mas, Surabaya, tetap bernama Hujung Galuh. Pelabuhan di daerah Surabaya ini akhirnya menjadi pelabuhan penting sejak zaman kerajaan Singhasari, Majapahit hingga Hindia Belanda.

Pusat pemerintahan Janggala terletak di Kahuripan. Menurut prasasti Terep, kota Kahuripan (kahuripan i bhumi janggala) didirikan oleh Airlangga tahun 1032, karena satu tahun sebelumnya 1031, ibu kota lama yaitu “Watan Mas” (Wotanmas Jedong, Ngoro, Mojokerto) dihancurkan seorang musuh wanita, yaitu Ratu Dyah Tulodong, yang merupakan salah satu raja Kerajaan Lodoyong (sekarang wilayah Tulungagung, Jawa Timur)

Berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang, pada tahun 1042 pusat pemerintahan Airlangga sudah pindah ke ibukota baru yaitu Daha wilayah Panjalu.

Pada tahun 1042 itu pula, Airlangga turun takhta. Putri mahkotanya yang bernama Sanggramawijaya Tunggadewi memilih kehidupan sebagai pertapa, sehingga timbul perebutan kekuasaan antara kedua putra Airlangga yang lain, yaitu Sri Samarawijaya dan Mapanji Garasakan.

Akhir November 1042, Airlangga terpaksa membagi dua wilayah kerajaannya. Sri Samarawijaya menjadi Raja wilayah Panjalu, di sebelah barat, yang berpusat di ibukota baru, yaitu Daha. Sedangkan Mapanji Garasakan menjadi Raja wilayah Janggala di sebelah timur, yang berpusat di ibukota lama, yaitu Kahuripan.

Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua (kerajaan Janggala dan Panjalu), Airlangga memindahkan ibukota kerajaan ke Daha wilayah Panjalu. Sebelum pembelahan kerajaan, kerajaan pimpinan Airlangga bernama Medang Kahuripan atau disebut juga Kerajaan Kahuripan.

… 1. Nahan tatwanikaɳ kamal/ widita deniɳ sampradaya sthiti, mwaɳ çri pañjalunatha riɳ daha te- (122a) wekniɳ yawabhumy/ apalih, çri airlanghya sirandani ryyasihiran/ panak/ ri saɳ rwa prabhu, …

… 1. Demikian sejarah Kamal menurut tutur yang dipercaya, Dan Sri Nata Panjalu di Daha, waktu bumi Jawa dibelah, Karena cinta raja Airlangga kepada dua puteranya, …
— (Kakawin Nagarakretagama, Pupuh 68).

Setelah turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.

Perkembangan kerajaan Janggala sepeninggal Airlangga dipenuhi oleh Perang saudara, antara Janggala melawan Panjalu. Mula-mula kemenangan berada di pihak Janggala.

Pada tahun 1044, berdasarkan Prasasti Turun Hyang, Mapanji Garasakan memenangkan pertempuran melawan Panjalu, karena para pemuka desa Turun Hyang setia membantu Janggala melawan Panjalu.

Pada tahun 1050, berdasarkan Prasasti Kambang Putih, Raja Sri Mapanji Garasakan mempertahankan istana dari pasukan Kambang Putih yang menyerang Istana Kerajaan Janggala. Kambang Putih (sekarang daerah Tuban) merupakan wilayah kekuasaan kerajaan Panjalu.

Pada tahun 1052, berdasarkan Prasasti Malenga, Mapanji Garasakan mengalahkan Aji Linggajaya raja Tanjung. Aji Linggajaya ini merupakan raja bawahan Panjalu.

Pada tahun 1052, berdasarkan Prasasti Banjaran, Janggala di serang oleh musuh dari Kadiri yang berhasil menyingkirkan Mapanji Garasakan dan keluarganya keluar dari ibukota Janggala. Raja Janggala kedua, Alanjung Ahyes melarikan diri ke hutan “Marsma” untuk menyusun kekuatan, ia kemudian berhasil merebut kembali ibukota Janggala berkat bantuan para pemuka desa Banjaran.

Pada tahun 1053, berdasarkan Prasasti Garaman, Mapanji Garasakan mengalahkan Aji Panjalu dari Kadiri dibantu oleh pasukan dari desa Garaman.

Pada tahun 1059, berdasarkan Prasasti Sumengka, Raja ketiga Janggala, Samarotsaha, dibantu para pemuka desa Sumengka, memperbaiki saluran air peninggalan Airlangga yang dimakamkan di tirtha atau pemandian (Petirtaan Belahan).

Pada awal berdirinya, Kerajaan Janggala lebih banyak meninggalkan bukti sejarah daripada Kerajaan Kadiri, tetapi hanya tiga orang raja yang diketahui memerintah Janggala yaitu:

  1. Mapanji Garasakan, berdasarkan prasasti Turun Hyang II (1044), prasasti Kambang Putih, dan prasasti Malenga (1052).
  2. Alanjung Ahyes, berdasarkan prasasti Banjaran (1052).
  3. Samarotsaha, berdasarkan prasasti Sumengka (1059).

Meskipun raja Janggala yang sudah diketahui namanya hanya tiga orang saja, namun kerajaan ini mampu bertahan dalam kurun waktu kurang lebih 90 tahun lamanya.

Pada tahun 1135, menurut prasasti Ngantang, Kerajaan Janggala akhirnya ditaklukkan oleh Sri Jayabhaya raja Kadiri, dengan semboyannya yang terkenal, yaitu Panjalu Jayati, atau Kadiri Menang. Sejak saat itu wilayah Janggala dipersatukan dengan Panjalu oleh Jayabhaya, dan menjadi wilayah Kerajaan Kadiri.

Setelah Kadiri ditaklukkan Singhasari tahun 1222, dan selanjutnya diteruskan oleh Majapahit tahun 1293, secara otomatis Janggala pun ikut dikuasai Majapahit.

Pada zaman Majapahit nama Kahuripan lebih populer daripada Janggala, sebagaimana nama Daha lebih populer daripada Panjalu. Meskipun demikian, pada prasasti Trailokyapuri (1486), Girindrawardhana raja Majapahit saat itu menyebut dirinya sebagai penguasa Wilwatikta-Janggala-Kadiri.

Keris Tindih

Tangguh Madya Kuno merupakan tangguh keris yang tentu saja sangat tua. Saking tuanya, keris-keris tangguh Madya Kuno juga termasuk tangguh Jenggala menjadi salah satu pusaka yang dijadikan sebagai keris tindih.

Keris Tindih, berasal dari kata ‘tetindhih’ yang menurut kitab Bausastra Jawa versi Poerwadarminta Tahun 1939 berarti lelurah atau pangarêp (penuntun), sedangkan secara arti atau makna harfiah adalah ‘menindih’. Keris tindhih merupakan suatu konsep spiritual bagi keris yang bisa menjadi pamomong (pengasuh) bagi keris lainnya.

Di kalangan para masyarakat tosan aji, sering ada anggapan bahwa diantara keris koleksinya mungkin ada yang tidak cocok (kurang/tidak bisa menyatu) dengan dirinya atau ditakutkan mempunyai pengaruh (energi/tuah) kurang baik. Walau demikian, ia merasa sayang untuk melarung atau melepasnya. Untuk menetralkan atau meredam pengaruh negatif atau kurang baik dari keris-keris tersebut, biasanya para kolektor memiliki apa yang dinamakan keris tindhih. Sesuai dengan makna harfiahnya, keris ini dipercaya mempunyai kekuatan yang dapat “menindih” segala pengaruh negatif dari keris lain yang ditakutkan bisa saja ber-efek kurang baik, tidak hanya bagi pemiliknya namun bisa saja keluarga sekitarnya. Dengan memiliki satu saja atau beberapa buah keris tindih, dipercaya akan memberikan ruang nyaman, lepas dari rasa khawatir dan sisi piskologis yang lebih secure bagi sang pemilik.

Terdapat beragam kepercayaan yang berkembang di dalam masyarakat perkerisan mengenai keris tindhih ini :

Pertama, Jika “tindhih” dianggap sebagai lurah/panuntun/pengasuh dan dalam budaya patriarki Jawa yang kesehariannya selalu diajarkan untuk menghormati mereka yang lebih tua. Kearifan lokal ini tampaknya terserap dalam budaya tosan aji. Maka apapun nama dhapur-nya adalah mutlak keris tindhih “harus” berasal dari tangguh sepuh sanget, seperti Singosari, Jenggala atau Kabudhan. Dimana secara esoteri alami diyakini sifat gaib bawaan keris-keris yang lebih muda usia pembuatannya akan selalu menghormati keris-keris yang lebih tua tangguh-nya.

Kedua, mereka yang memahami keris tindhih sebagai konsep spiritual (yang tentu saja juga diyakini secara personal), maka kesemuanya akan menjadi flexible (subyektif). Sehingga bagi mereka ini keris tindhih tidak harus berasal dari tangguh sepuh sanget. Filosofi yang tertanam dalam tosan aji justru lebih menentukan karena menyangkut doa awal ketika pusaka tersebut dibabar. Jika melihatnya dari sisi pamor, maka pamor seperti wengkon, satriya pinayungan, dan raja sulaiman bisa menjadi pilihan. Bahkan tidak semata hanya keris bethok maupun jalak budha, tombak seperti banyak angrem, kuntul nglangak dan semar tinandhu pun bisa dijadikan pusaka tindhih meskipun tangguh atau usia-nya lebih muda.

Dan yang terakhir, ada pula yang beranggapan jika keris tindhih lebih diperlukan bagi orang-orang yang memiliki banyak pusaka yang lebih bersifat koleksi saja (menjadi barang simpanan saja), yaitu orang-orang yang merasa tidak ada kedekatan batin dengan pusaka-pusakanya. Namun selama perjalanan jika pusaka-pusaka tersebut telah terawat baik dengan kesungguhan hati (sudah ada kedekatan batin dengan pemiliknya), mungkin keris tindhih tidak lagi diperlukan.

Dhapur Gumbeng

Gumbeng adalah salah satu dhapur Keris lurus yang bentuknya sangat sederhana. Bentuk dan ricikannya mirip seperti Keris Kebo Lajer dengan gandhik yang panjang tapi bilahnya sedikit lebih lebar. Umumnya Keris Gumbeng merupakan tangguh sepuh.

Dibalik bentuknya yang lugu dan sederhana, Keris Gumbeng memiliki muatan spiritual yang berkaitan dengan keselarasan manusia dengan Tuhan dan alam semesta.

“Gumbeng” secara harfiah bermakna “tingkat kesadaran tertentu pada saat bersemedi”, yaitu titik hening atau kondisi dimana hati, pikiran dan jiwa selaras dengan alam serta merasa begitu dekat dengan Tuhan. Kosong, hanya ada keheningan namun begitu damai.

Semedi/Meditasi adalah salah satu cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan menyelaraskan diri dengan alam semesta, yaitu untuk mencapai keselarasan pikiran, hasrat dan daya-rasa-cipta pada diri Manusia dengan Tuhan dan alam.

Dalam tataran tertentu, ketika bersemedi kita akan melalui suatu batas antara kesadaran pikiran dalam tataran Manusia dengan kesadaran hakiki atas makna ke-Tuhanan dan alam semesta. Semedi juga menjadi semacam metode penyucian batin dan untuk mengelola energi alam.

Dengan bersemedi kita bisa melalui sebuah batas dari tataran syariat, tarekat, hakikat dan makrifat yang disimbolkan dengan beberapa warna cahaya sampai pada batas pencapaian (Kala Bintulu) atau dalam budaya Jawa dikenal sebagai laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa. Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam “Wedhatama”, yaitu empat tahap laku yang disebut: sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa dan sembah rasa.

Daya dorong kearah positif dan negatif harus diselaraskan, diharmoniskan dan selalu dijaga agar bisa seimbang. Jika nafsu bisa dikendalikan dengan baik, maka sama artinya kita telah bergerak untuk menyatukan diri dengan Tuhan.

Menyatukan diri disini bukan berarti menyatunya dzat manusia dengan Dzat Tuhan karena Manusia tidak perlu menyatukan dirinya dengan Dzat Tuhan, sebab keberadaan Tuhan sudah meliputi segala sesuatu.

Yang perlu disatukan adalah “Sifat, Asma, dan Af”al” Manusia agar selaras dengan Sifat, Asma dan Af’al Tuhan yang telah diberikan kepada Manusia sebagai Kodrad dan Irodad yang sudah ada dalam diri setiap Manusia.

Jadi tugas Manusia hanyalah menyelaraskan dan menyerasikan dirinya dengan Kodrad dan Irodad Tuhan. Inilah batas yang ada dalam semedi/meditasi.

Semedi tanpa menyadari adanya batasan diri akan menyebabkan Manusia menjadi “owah”, atau berubah cara pikir dan perasaannya terhadap “lakuning urip lan kesejatian”.

Ada berbagai cara untuk bisa menyatukan diri dengan Tuhan, di antaranya adalah dengan cara semedi/meditasi. Dalam hal ini kita harus bisa menyatukan segenap perasaan dan pikiran dengan nafas dalam bermeditasi.

Puncak dari adanya penyatuan dalam tingkatan umum ketika bersemedi adalah timbulnya ketenangan pikiran, hati dan jiwa. Karena hanya dengan selalu mengingat Tuhan, qalbu/hati kita bisa menjadi tenang.

Keris Gumbeng mengandung pesan agar kita senantiasa mengingat dan mendekatkan diri kepada Tuhan serta selaras dengan alam semesta agar bisa mendapatkan ketenangan batin, seperti pada kondisi “Gumbeng” saat bersemedi. Sedangkan dari segi tuah, Keris Gumbeng dipercaya memiliki tuah untuk ketenangan batin atau kasepuhan, ketentraman keluarga dan pengayoman.

Pamor Raja Kamkam

Salah satu pamor yang sangat langka jarang dijumpai adalah pamor Raja Kamkam. Bentuknya seperti pamor Kuto Mesir terdiri dari tumpukan gelang gelang tidak begitu bulat tetapi cenderung agak persegi. Bedanya jika Pamor Kuto Mesir ia terletak pada bagian tengah sor-soran, kalau Raja Kamkam letaknya pada bagian tengah gonjo.

Pamor Raja Kamkam tuahnya dipercaya membuat pemiliknya selalu mendapatkan kebahagiaan dan kesuksesan. Selain itu pamor Raja Kamkam juga memiliki tuah agar pemiliknya selamat dari fitnah.

Pamor Wos Wutah Asihan

Dalam nama-nama pamor keris, ada salah satu nama pamor yang cukup banyak dicari yaitu pamor Asihan. Pamor Asihan adalah bentuk pamor yang motifnya menyambung dari bagian bilah Keris sampai ke bagian gonjo.

Jadi, pamor Asihan tidak memiliki bentuk sendiri tapi selalu digabungkan dengan pamor lain yang lebih dominan seperti misalnya pamor Ngulit Semongko Asihan, Udan Mas Asihan, atau yang lainnya.

Tuahnya dipercaya dapat memikat lawan jenis (pengasihan) dan disukai banyak orang.

Tags:

Keris Jenggala TUS Gumbeng Pamor Raja Kamkam Wos Wutah Asihan

Berat 1500 gram
Kondisi Bekas
Dilihat 232 kali
Diskusi Belum ada komentar

Belum ada komentar, buka diskusi dengan komentar Anda.

Silahkan tulis komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan kami publikasikan. Kolom bertanda bintang (*) wajib diisi.

*

*

Produk Terkait

Produk yang sangat tepat, pilihan bagus..!

Berhasil ditambahkan ke keranjang belanja
Lanjut Belanja
Checkout
WhatsApp WhatsApp us