Ada yang ditanyakan?
Klik untuk chat dengan customer support kami			
● online 6282177400100
● online
- Keris Pamengkang Jagad Pamor Janur Sinebit Sepuh K
 - Tempat Perhiasan Motif Segi Enam Kayu Jati
 - Pusaka Kudhi Kabudhan Kuno
 - Keris Pasopati Pamor Pedaringan Kebak
 - Keris Pamor Wulan-Wulan Era Pajajaran Sepuh Kuno
 - LANGKA!! Keris Jaka Waru Luk 11 Pamor Unik Majapah
 - Blawong Keris Tombak Pusaka Ukiran Lambang Keraton
 - Dhapur Keris Kalamisani
 
Filosofi Keris Pusaka Sebagai Pesan Simbolik
Filosofi Keris Pusaka Sebagai Pesan Simbolik

Bagi masyarakat Jawa, keris memiliki nilai tertentu. Bukan sebagai klenik, melainkan sebagai filosofi dalam kehidupan. Makna filosofis yang terkandung dalam sebuah keris bisa dilihat mulai dari proses pembuatan hingga menjadi sebuah pusaka bagi pemiliknya.
Empu menciptakan keris bukan untuk membunuh tetapi mempunyai tujuan lain yakni sebagai piyandel atau pegangan yang diyakini menambah kewibawaan dan rasa percaya diri, ini dapat dilihat dari proses pembuatannya pada zaman dahulu.
Dalam adat Jawa, keris adalah satu dari lima hal yang harus dimiliki oleh laki-laki Jawa dewasa. Keris pada dasarnya menunjukkan kemapanan seorang laki-laki Jawa. Sekaligus simbol diri dari pemiliknya serta simbol garis keturunan.
Keris juga bisa menjadi simbol status atau strata mulai dari petani, prajurit, kemudian petinggi sampai raja. Keris yang mereka miliki pasti berbeda karakter sesuai dengan pemiliknya.
Jumlah luk pada keris juga memiliki arti tersendiri. Misalnya, keris ber keluk satu, sebagai simbol kesederhanaan. Luk tiga, sebagai simbol bahwa pemiliknya bersikap semeleh, berserah pada pemilik kehidupan.
Keris biasanya disesuaikan dengan wuku kelahiran dan kebutuhan pemiliknya. Misalnya ingin kesejahteraan rumah tangga, kita bisa memilih keris dengan dapur tilam sari. Kalau jaman dulu, kalau kita memesan dari empu, kita tidak bisa memesan sesuai keinginan kita, tapi sang empu yang menentukan keris apa yang cocok untuk kita.
Keris atau dalam bahasa Jawa disebut Tosan Aji, merupakan penggalan dari kata tosan yang berarti besi dan aji berarti dihormati. Jadi keris merupakan perwujudan yang berupa besi dan diyakini memiliki kandungan yang mempunyai makna harus dihormati, karena merupakan warisan budaya nenek moyang yang bernilai tinggi.
Posisi keris sebagai benda simbolis dan obyek spiritual hingga kini masih terlihat. Setidaknya setiap tahun di keraton Yogyakarta dan Surakarta selalu dilakukan upacara dan ritual kirab pusaka keliling benteng.
Anda tentu pernah melihat foto lama yang mengabadikan momen Presiden Soekarno memberikan cendera mata keris pada Presiden Fidel Castro. Dalam foto itu terlihat sosok pemimpin revolusioner Kuba serius mencermati sebilah keris yang dipegangnya, dan Presiden Soekarno terlihat tengah memegang sarung keris sembari harap-harap cemas menyimak respons Presiden Castro.
Pilihan memberikan keris sebagai cendera mata tentu bukan nirmakna. Sudah jadi common sense, setidaknya di budaya Jawa, keris ialah simbol kepahlawanan dan sikap kesatria.
Lihatlah tokoh Pendawa: Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Bisa dikata mereka adalah hero dalam imajinasi orang Jawa. Kecuali pada tokoh Bima, sebilah keris lazim nyengkelit di tubuh tokoh hero dari jagat pewayangan itu.
Bung Karno juga berlatar belakang budaya Jawa. Trikoro Dharmo, yang nanti berubah nama jadi Jong Java ialah organisasi kepemudaan yang pertama kali diikuti Bung Karno demikian dia biasa dipanggil, juga menempatkan keris sebagai simbol organisasi.
Pemberian keris dan peci pada tokoh pemimpin revolusioner bangsa Kuba Fidel Castro, salah satunya, terang memberi pesan akan makna itu. Spirit kepahlawanan dan sikap kesatria.
Tapi bicara keris tentu tak melulu tentang makna kepahlawanan dan sikap kesatria. Keris memiliki spektrum makna yang notabene jauh lebih luas dan lagi dalam. Keris bukan hanya semata berfungsi sebagai senjata taktis tradisional. Tak semata itu.
Keris juga momot atau mengandung nilai-nilai filosofis, kosmologis, dan ontologis, atau malah keseluruhan spektrum makna. Baik itu tentang konsepsi hubungan Tuhan dan manusia, maupun antarsesama manusia.
Artinya, selain bermakna tangible yakni aspek seni estetis dari tradisi olah tempa-lipat senjata khas dan asli Indonesia yang utama adalah justru aspek intangible yang melekat dengannya, yakni filosofis, kisah tutur, tradisi, legenda, mitos, atau singkat kata ‘local knowledge’.
Lekatnya keris sebagai benda simbolik orang Jawa, bagaimanpun telah mengambil porsi besar sebagai bagian dari pembentuk sistem simbolis kebudayaan mereka. Sekaligus juga mengisyaratkan bagaimana pentingnya posisi keris secara kebudayaan.

Makna Kebudayaan Keris
Jika mengikuti teori simbol yang dirumuskan Clifford Geertz, yang mendudukkan kebudayaan dalam perspektif semiotika dan hermenutika, hipotesa keris merupakan simbol dan representasi jati diri budaya Jawa terlihat semakin kukuh.
Dalam Interpretation of Cultures, Geertz menguraikan makna di balik sistem simbol suatu kebudayaan. Antropolog Amerika yang sekaligus seorang Indonesianis yang di tanah air populer melalui karya etnografisnya, The Religion of Java, menggarisbawahi bahwa sistem simbol itu sendiri merefleksikan makna kebudayaan sebuah masyarakat.
Tentu disadari, secara teoritis tidaklah mungkin mendudukkan keris sebagai episentrum atau perwujudan sistem simbolik itu sendiri. Pasalnya teori Geertz ini diformulasikan untuk melihat dan menginterpretasikan tentang fenomena agama sebagai “fakta kebudayaan”. Posisi agama di sini, bagaimanapun menjadi episentrum dari sistem simbolik sebuah kebudayaan.
Sedangkan, jika mencermati fungsi sosial dan individual dari keris, sekalipun terlihat tendensi disakralkan sebegitu rupa dan dianggap sebagai objek spiritual di dalam khazanah budaya Jawa, tetap saja posisinya sekadar merupakan salah satu simbol dari sekian simbol lainnya.
Namun demikian, melihat pentingnya posisi keris di dalam budaya Jawa, adalah dimungkinkan keris ditempatkan sebagai representasi simbolik yang penting dicermati. Namun sebelum melangkah ke sana, baiknya disimak terlebih dulu pandangan Geertzian tentang kebudayaan.
Merujuk pendapat FW Dillistone dalam The Power of Symbols, apa yang menjadi pusat minat dan penelitian Geertz saat bicara topik agama adalah perihal “makna yang diejawantahkan dalam simbol atau konsep yang terungkap dalam bentuk simbolis”.
Seperti diketahui, menurut Geertz “kebudayaan” berarti suatu pola makna yang ditularkan secara historis, yang diejawantahkan dalam bentuk simbol-simbol, dan menjadi sarana manusia untuk menyampaikan, mengabadikan, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang sikap-sikap mereka terhadap hidup. Di setiap kebudayaan, yang disebut makna tidaklah pernah terisolasi secara individual, tetapi selalu merupakan domain publik.
Demikianlah, ada korelasi yang kuat antara simbol-simbol tertentu pada sebuah kebudayaan dan bagaimana sebuah masyarakat tertentu itu menafsirkan, memaknai, dan menghayati semesta pandangan dunianya, dan sekaligus membentuk kembali dunia simboliknya.
Momen Simbolik Keris
Bicara sistem simbol, tampaknya posisi keris merupakan salah satu simbol signifikan bagi semesta pandangan dunia Jawa. Benar, keris bukan monopololi budaya Jawa. Keris ialah fenomena budaya Nusantara, bahkan keberadaannya hingga menjangkau wilayah kawasan yang luas. Regional Asia Tenggara.
Meski demikian pada budaya Jawa-lah, signifikansi keberadaan keris tampak melebihi etnis lainnya. Tentu susah menjelaskan latarbelakang historis mengapa makna keris jadi penting dan bahkan cenderung disakralkan sebegitu rupa dalam budaya ini.
Walaupun konteks historisnya susah dilacak, makna antropologisnya masih mudah disimak. Dalam konteks ini, bicara keris sebagai benda simbolis dan obyek spiritual sebagaimana deskripsi keris oleh UNESCO berarti juga harus bicara budaya Jawa sebagai lanskap.
Sementara itu, bicara struktur makna keris dalam budaya Jawa berarti harus memahami kerangka kosmologis-mistis orang Jawa. Relasi antara Tuhan, alam, dan manusia, harus dimaknai dalam konsepsi “makrokosmos-mikrokosmos”.
Dari sana pulalah, pada suatu fase sejarah budaya Jawa-Islam, konsepsi “manunggaling kawula-Gusti” pun lahir. Dari jagat pewayangan pun digambarkan, relasi antara Tuhan dan manusia sebagai mirip lakon wayang yang semata digerakan oleh kuasa sang dalang.
Masih dari dunia pewayangan, yang dikatakan Ben Anderson sebagai khazanah utama proses internalisasi psikologis orang Jawa, juga dikenal konsepsi kekuasaan raja-dewa sebagai ”ratu gung binathara, baudhendha nyakrawati” (sebesar kekuasaan Tuhan, pemelihara hukum, dan penguasa dunia).
Mendedah narasi Syekh Siti Jenar yang sangat populer di Jawa, PJ Zoetmulder pun menyimpulkan, karakteristik filosofis Jawa sebagai bercorak “pantheisme”.
Menariknya, konsepsi kosmologi-mistis ini bukan saja tercermin dalam pandangan-dunia Jawa yang menempatkan posisi raja sebagai pusat kosmos, melainkan juga mewujud dalam relasi struktur sosial masyarakat Jawa. Konsep ”ratu gung binathara, baudhendha nyakrawati” ini, sekaligus konsepsi “manunggaling kawula-Gusti”, seperti diketahui bersama, suka atau tidak suka, diadopsi Wangsa Mataram-Islam.
Selain itu, sikap pemuliaan masyarakat Jawa pada para leluhurnya tentu patut dicatat. Konsepsi moral masyarat Jawa mewajibkan anak bersikap sangat hormat pada orang tuanya. Ini terlihat dalam frasa “wong tuo iku Gusti Allah kang katon”, langsung atau tidak, juga mengisyaratkan kuatnya pandangan kosmologi-mistis Jawa.
Ide-ide dan konsepsi abstrak perihal moralitas atau etika Jawa segera mawujud pada cara orang Jawa menghormati orang tua mereka sehari-hari. Orang tua secara struktur sosial ditempatkan pada posisi hirarkis lebih tinggi. Saat anak bertutur dia menggunakan bahasa krama inggil, sedangkan orang tuanya ngoko.
Dalam lanskap kosmologi-mistis Jawa seperti itulah, tradisi keris sebagai budaya keraton lahir. Maka segera saja keris dibuat dalam kerangka nilai-nilai filosofis dan konsepsi kosmologis-mitis Jawa tersebut.
Frasa “curiga manjing warangka, warangka manjing curiga” secara terang benderang memberi konfirmasi bahwa makna atau nilai-nilai dari konsep filosofis manungggaling kawula-Gusti secara simbolis telah diejawantahkan pada keberadaan keris.
Keris secara metalurgi sengaja dibuat dengan memadukan antara material logam yang berasal dari bumi dan langit (meteor) juga memberikan makna “Bapa Angkasa, Ibu Pertiwi”. Meteor sebagai representasi material langit dan konsepsi makrokosmos, sedangkan material logam bumi sebagai representasi konsep mikrokosmos. Perpaduan dua atau lebih unsur logam yang bersumber dari langit dan bumi itu menciptakan aneka ragam motif pamor.
Empu sendiri dianggap sebagai orang linuwih (sakti). Profesi ini bukan saja dituntut menguasai seni metalurgi pengolahan logam secara mumpuni, melainkan juga mensyaratkan banyak pengetahuan tambahan seperti sastra, sejarah, ilmu psikologi atau pawukon, dan juga ilmu gaib (olkutisme).
Sugesti doa dan pengharapan sang Empu yang disertai ritual dalam proses pembuatannya inilah, yang dipercayai membentuk kekuatan magis pada keris. Walhasil, keris sebagai senjata taktis tradisional sekaligus berfungsi menjadi benda simbolis dan spiritual. Orang Jawa menyebut fungsi keris itu sebagai sipat kandel.
Bagaimana kompleks dan rumitnya aneka rupa simbol dan pesan maknanya di dalam keris itu sendiri, tampak jikalau ricikan atau aspek ornamental pembentuk sebuah dhapur keris juga disimak secara mendetail.
Seperti diketahui aneka komposisi ricikan akan menentukan nama dhapur atau model keris. Seringkali pada satu dhapur tertentu dan dhapur lainnya ternyata perbedaan ricikan itu sangat kecil sehingga terkadang bisa terabaikan oleh mata awam. Perbedaan komposisi ricikan yang membawa konsekuensi perbedaan nama dhapur ini tentu juga memiliki korelasi dengan perbedaan makna yang diemban oleh sebuah keris.
Belum lagi jika kemudian motif pamor sebagai “unsur dekoratif” keris juga jadi pertimbangan dalam menafsir makna simbolisnya. Sebuah dhapur keris yang sama, namun keduanya memiliki motif pamor berbeda, bisa berarti memiliki makna spesifik yang berbeda satu dengan lainnya.
Dari makna benda simbolis dan spiritual itu kemudian bersintesis dengan konsep kuasa Mataram-Islam. Dibalut pelbagai mitos, folklore, ritual, dan simbol-simbol lainnya, lambat laun pun terbentuklah makna keris yang semakin kukuh sebagai benda simbolis dan obyek sipiritual dalam budaya Jawa.
Keris sebagai benda simbolis dan obyek spiritual hingga kini masih terlihat mengemuka di keraton Yogyakarta dan Surakarta. Dua keraton di bekas kota verstenlenden ini setidaknya setiap tahun selalu melakukan upacara dan ritual kirab (mengarak) pusaka-pusaka keraton keliling benteng.
Tak kecuali bicara makna secara individual bagi para pengeris, khususnya bagi yang notabene berlatar belakang budaya Jawa. Dikenal istilah “pusaka waris”. Sebuah keris yang telah diwariskan antargenerasi ke generasi dalam keluarga.
Lazimnya bagi keluarga pewaris, keris ini mendapatkan posisi khusus dibandingkan keris lain yang didapatkan dari “memahari” (mengadopsi) pusaka milik orang lain. Selain dianggap merepresentasikan geneologi keluarga, adanya tradisi merawat (uri-uri) pusaka waris ialah bagian dari upaya mengingat dan memuliakan leluhur mereka.
Ya, bagaimana signifikansi keris dalam sistem simbolik orang Jawa memang tampak begitu kuat, baik dalam arti individual maupun dalam arti sosial.
Bukan saja berfungsi sebagai perwujudan simbolisasi dari ide-ide atau konsep filsafat atau local knowledge yang dimiliki oleh masyarakat Jawa, lebih jauh juga berfungsi sebagai pembeda strata kelas sosial, sebagai obyek spiritual (sipat kandel), mengemban fungsi edukasi tentang moralitas atau etika yang dilekatkan pada bentuk arsitektural keris, dan lain sebagainya.
Menariknya, apa yang pada awalnya ialah perwujudan simbolisasi dari semesta makna pandangan dunia Jawa, dalam perjalanannya kemudian keris sebagai benda simbolis itu juga diadopsi menjadi simbol resmi dari banyak organisasi modern yang didirikan oleh masyarakat Jawa.
Salah satu contohnya adalah Trikoro Dharmo yang nanti berubah nama menjadi Jong Java itu, tempat persemaian gagasan Bung Karno dan dunia pergerakan yang pertamakali dimasukinya saat beliau masih muda. Jadi mudah diduga, pilihan untuk memberikan keris sebagai cendera mata pada Presiden Fidel Castro tentu tak lepas dari latar belakang pribadi Bung Karno sebagai orang Jawa-Bali, yang paham akan signifikansi keris dalam sistem simbolik budaya Jawa atau Bali.
sumber: Indonesia.go.id
Tags: filosofi keris, Filosofi Keris Pusaka Sebagai Pesan Simbolik
Filosofi Keris Pusaka Sebagai Pesan Simbolik
Pengertian dan Ciri Bilah Keris Dhapur Bethok Pengertian dan Ciri Bilah Keris Dhapur Bethok – Bilah keris dhapur bethok merupakan... selengkapnya
Tips Menjadi Kolektor Keris Tips Menjadi Kolektor Keris adalah artikel yang akan saya buat untuk para pecinta tosan aji pusaka... selengkapnya
Keris Jawa Kuno: Warisan Budaya dan Keahlian Tempa Keris, atau sering disebut juga “kris,” adalah senjata tradisional khas Indonesia yang... selengkapnya
Keris: Seni, Sejarah, dan Makna Simbolis Keris, senjata tradisional khas Indonesia, bukan hanya sekadar pisau tajam, tetapi juga sebuah karya... selengkapnya
Ketua DPR RI Koleksi 3.000 Keris Pusaka Mendapat Gelar Keraton Surakarta Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI AA La Nyalla... selengkapnya
Hamengkubuwana: Jejak Kejayaan dan Perjuangan Dinasti di Keraton Yogyakarta Keraton Yogyakarta, dengan Dinasti Hamengkubuwana sebagai penguasanya, merupakan salah satu situs... selengkapnya
Warangka: Mengenal Seni Ukir Tradisional Indonesia Warangka adalah seni ukir tradisional Indonesia yang memiliki keindahan dan nilai seni yang tinggi.... selengkapnya
Elegansi dan Makna Simbolis: Memahami Kekayaan Batik Motif Kawung Batik, sebagai kekayaan warisan budaya Indonesia, menyimpan sejuta cerita dan makna... selengkapnya
Pusaka Keris Buto Ijo Pusaka Keris Buto Ijo – Buto Ijo adalah salah satu dhapur keris luk sembilan yang tergolong... selengkapnya
Reog Ponorogo: Keajaiban Seni Tradisional Jawa yang Memikat Hati Reog, sebuah seni pertunjukan tradisional dari Ponorogo, Jawa Timur, memancarkan pesona... selengkapnya
Pusaka Keris Carubuk Pamor Pulo Tirto Sepuh Dhapur Keris (jenis bentuk keris) : Carubuk Luk 7 Pamor (motif lipatan besi)… selengkapnya
Rp 2.750.000Keris Naga Siluman Pamor Melati Sinebar Sepuh Keris Naga Siluman Pamor Melati Sinebar Sepuh – Naga Siluman, berasal dari bahasa… selengkapnya
TERMAHARPusaka Keris Tangguh Surakarta PB IV Pakubuwono Dhapur Keris (jenis bentuk keris) : Jalak Ngore Pamor (motif lipatan besi) :… selengkapnya
TERMAHARPusaka Keris Tumenggung Pamor Lar Gangsir Dhapur: Tumenggung Pamor: Lar Gangsir Tangguh: Mataram Sepuh Kode: PK119 INFO SELENGKAPNYA Tentang Pusaka… selengkapnya
TERMAHARPendok Selongsong Warangka Keris Bunton Kelas Premium Bahan Tembaga Nama Produk: Pendok Keris (Kelas Premium) Model: Bunton (Ukiran Halus) Gaya:… selengkapnya
Rp 400.000Keris Pulanggeni Luk 5 Pamor Singkir Sepuh Kuno Dhapur Keris (jenis bentuk keris) : Pulanggeni Luk 5 Pamor (motif lipatan… selengkapnya
TERMAHARKeris Tangguh Pakubuwono Surakarta Keris Tangguh Pakubuwono Surakarta – Keris dengan tangguh surakarta atau sering disebut dengan keris PB (Pakubuwono)…. selengkapnya
TERMAHARJual Mendak Keris Model Wajikan Halus Elegan Apakah Anda sedang mencari aksesoris keris berupa mendak atau cincin keris dengan model… selengkapnya
Rp 120.000Keris Sabuk Inten Pusaka Legendaris Keris Sabuk Inten Pusaka Legendaris adalah salah satu dari ratusan koleksi pusaka keris. Keris ini… selengkapnya
Rp 1.400.000Pusaka Keris Tindih Jalak Budho Temuan Dhapur Keris (jenis bentuk keris) : Jalak Budha Pamor (motif lipatan besi) : Meteorit… selengkapnya
Rp 5.555.000
			
			
			
			
			
			
			
			
			
			
			
			
			
			
			
			
			
			
			
				
							
		
                WhatsApp us            
Saat ini belum tersedia komentar.